Berawal dari semangat untuk mempertahankan hidup, Anton Wahono menuai sukses luar biasa sebagai perajin batik kayu dari desa Krebet, Bantul,...
anton-wahonoBagi Anton, lahir di perbukitan tandus justru merupakan berkah tersendiri. Di daerahnya, sangat jarang orang menanam padi, yang ada hanya tanaman palawija. Alhasil, beras menjadi barang mahal di sini. Maka, anak kelima dari enam bersaudara ini lantas membuat kerajinan untuk mendapatkan uang. "Saya mengamati kehidupan sekitar desa saya. Rumput dan ranting saja bisa dijual. Apalagi kerajinan," ujar Anton yang banyak mendapat contoh menjadi perajin dari kakak ketiganya.
Maka, selepas sekolah dasar, yaitu sekitar 1973, Anton yang kala itu berusia 13 tahun sudah nyantrik ke Bangun Jiwo. Padepokan milik Pak Saijo ini waktu itu kondang sebagai pembuat wayang kulit. Selama tiga tahun belajar, dia hanya mendapat makanan, minuman, serta tempat tinggal saja. Selepas nyantrik, tahun 1977, Anton meneruskan SMP-nya sembari tetap menekuni usaha pembuatan wayang secara kecil-kecilan.
Pada 1978, Anton mendapat pesanan empat kotak wayang. Karena tidak punya modal untuk membeli bahan baku, Anton pun merayu orang tuanya untuk menggadaikan sertifikat tanahnya ke bank. Untungnya, orang tua Anton manut saja. Anton pun kemudian mendapat dana segar sebesar Rp 40.000. Waktu itu, harga emas baru Rp 450 per gram dan harga bensin baru Rp 15 per liter. "Dalam setahun, saya bisa lunasi pinjaman. Bahkan, saya bisa membeli sepeda motor," ujarnya.
Dari hasil usaha wayang kulit ini, Anton dan adik bungsunya berhasil menamatkan SMA di 1984. Tapi, harus bekerja keras. Tiap malam, ia harus menyelesaikan pekerjaannya agar hasilnya bisa dijual ke Jakarta setiap hari Minggu. "Sekeluarga, dari enam orang anak bapak saya, hanya dua orang yang tamat SMA," ujarnya.
Sayang, di 1988, pemerintah membuka kran ekspor kulit mentah dan membuat perajin wayang kulit seperti Anton kolaps. Mereka sulit mendapatkan bahan baku. Tak pantang menyerah, Anton pun mencoba media lain sebagai ajang karyanya, yaitu kayu. Dengan media baru tersebut, Anton mendirikan CV Sanggar Punokawan.
Meski demikian, perjalanan bisnis Anton tak semulus harapan. Banyak tantangan dan hambatan yang harus dia temui. Maka, ketika usaha wayang kulit yang dia rintis sejak umur 13 tahun merosot gara-gara pemerintah membuka keran ekspor kulit mentah, Anton pun beralih ke media kayu.
Tahun 1988, Anton resmi menjadi perajin wayang kayu atau disebut juga wayang klithik. Anton sengaja memilih wayang klithik, lantaran budaya peninggalan Majapahit ini nyaris punah.
Pilihan Anton tepat. Usaha wayang klithiknya berkembang pesat dan peminatnya meningkat. Sukses ini lah yang membuat Pemerintah Kabupaten Bantul menjadikan Desa Krebet, tempat tinggal Anton, sebagai sentra kerajinan kayu.
Tak mau berpuas diri dengan satu produk, Anton mengembangkan variasi kerajinan kayunya. Misalnya, topeng, selop, meja, kursi kayu, cermin dinding, suvenir pernikahan, dan lain-lainnya.
Belakangan, ia menemukan cara membatik di atas kayu. Kerajinan inilah yang berhasil menembus pasar dunia, sekaligus mengangkat nama Anton sebagai perajin sukses.
"Membatik di atas kayu tak semudah membatik di kain. Karena harus tepat jenis kayu dan pewarnanya," ujar Anton. Anton sendiri baru menemukan cara membatik di atas kayu yang tepat setelah melakukan bereksperimen selama delapan bulan.
Untuk bahan baku kerajinan kayu batiknya, Anton hanya memakai kayu kuso, albasia atau sengon, klepu, pule, kembang, dan kayu jinjing. "Kalau kayu jati itu keras dan mengandung minyak, jadi susah dibatik," ujar Anton.
Ia memaparkan, prinsip membatik kayu sama dengan membatik kain. Dari mulai penggambaran pola, melapisi dan menutup pola dengan lilin cair, pewarnaan, hingga proses melepas lilin.
Anton menggunakan pewarna kimia impor dari Jepang dan China yang dia dapatkan di Jogja dan Solo. "Jika ada yang ingin mengembangkan batik kayu di luar kedua kota ini, bakal kesulitan mendapatkan bahan baku pewarna," ujarnya.
Harga batik kayu Anton mulai Rp 2.500 sampai jutaan rupiah per unit. Sebagian bati kayu buatannya dipasarkan ke Eropa dan Amerika Serikat. "Saya pernah dapat pesanan dari luar negeri senilai Rp 1,2 miliar yang dikerjakan dalam lima bulan, marjinnya bisa 50%," ujarnya.
Jika pesanan sedang banyak, biasanya Anton menggandeng subkontraktor untuk mengerjakan sebagian pesanan. Dengan cara ini, Anton juga menularkan keterampilan membatik kayu kepada warga desanya.
Hingga saat ini, Anton sudah menelurkan 37 perajin Mandiri. Setiap perajin bisa menyerap hingga 500 pekerja. "Jadi jangan heran kalau di Krebet tidak ada pengangguran. Omzet di Desa Krebet bisa lebih dari Rp 5 miliar per bulan," kata Anton.
Namun pada saat usahanya melejit dan pesanan mengalir deras, Anton justru terkena musibah. Pada 2006, gempa berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Bantul dan daerah sekitarnya. Seperti warga lainnya, Anton kehilangan segalanya.
Kala itu, Anton tengah mengerjakan pesanan 10.000 topeng batik kayu dari pembeli di Amerika Serikat (AS). Bahkan, untuk mempercepat pengerjaan, ia sampai mensubkontrakkan order tersebut ke perajin di daerah Gunung Kidul.
Ketika pekerjaan nyaris selesai, gempa melumat semuanya. "Tapi untungnya, pihak pembeli mau mengerti," kata Anton. Pemesan dari AS itu memberinya kesempatan untuk menyelesaikan order hingga setahun. Dispensasi ini memang sangat membantu, tapi itu baru menyelesaikan sebagian masalah.
Saat memulai memproduksi batik kayu lagi, Anton tak punya modal. Sebagian besar alat produksinya hancur. Bahkan, anggota satu keluarga perajin yang selama ini bekerja sama dengannya tewas semua.
Ketika usahanya mulai pulih dua tahun setelah gempa, ia menghadapi persoalan baru. Negara-negara yang selama ini menjadi pasar utamanya terseret krisis ekonomi. Pesanan mendadak sepi karena banyak perusahaan Amerika menunda order.
Omzet Anton kini anjlok menjadi hanya Rp 40 juta-50 juta sebulan. Itupun tertolong pesanan lokal. Sebelum ada gempa dan krisis di negara maju, ia bisa meraup pendapatan Rp 1,2 miliar per bulan.
Tak hanya Anton yang susut omzetnya. Pendapatan perajin lain di desa Krebet juga anjlok. Jika dulu dalam sebulan omzet 37 perajin di desa Krebet bisa mencapai lebih dari Rp 5 miliar, kini omzet mereka hanya Rp 3 miliar. "Kini, saya dan perajin di Krebet fokus menjual desain kecil," lanjut Anton.
Maklum saja, desain yang kecil mudah dibuat dan permintaannya banyak. Misalnya untuk suvenir perkawinan. Produk seperti ini juga hemat bahan baku dan tidak makan tempat ketika masuk kontainer. Harga sekardus kecil suvenir berbentuk cermin batik bisa mencapai Rp 2 juta.
"Saya baru saja kirim pesanan patung primitif ke Argentina. Satu kontainer nilainya tidak sampai Rp 50 juta. Kalau desainnya kecil dan banyak, lain lagi hasilnya," ujar Anton.
Selain itu, untuk tetap menciptakan pasar baru, Anton mengaku tak pernah absen ikut pameran. "Kita kan harus memadukan seni dengan bisnis. Wong perusahaan besar saja iklannya sampai 30% anggaran mereka kok," ujar Anton. (Tabloid Kontan)